Sabtu, 17 Agustus 2013

I.STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT KOTA PALEMBANG

I.STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT KOTA PALEMBANG

Sriwijaya adalah sebuah negara maritim yang mempunyai hubungan perdagangan internasional. Para pedagang dari berbagai bangsa, seperti Cina, anak benua India (Gujarat, Urdu-Pakistan, dan Tamil), Sri Lanka, dan Campa datang ke Sriwijaya. Bukan tidak mungkin terjadi perkawinan campur antara para pedagang asing tersebut dengan penduduk asli Sriwijaya. Hal ini dapat kita simpulkan dari berita I-Tsing yang menyebutkan banyaknya kapal asing yang datang ke Sriwijaya. Para pelaut ini tinggal beberapa lama di Sriwijaya menunggu datangnya pergantian angin yang akan membawa mereka berlayar menuju tempat tujuan. Jelaslah bahwa transportasi laut dan Sungai Musi di Palembang sangat membantu Sriwijaya dalam mengembangkan pertumbuhan ekonominya.

Patung Siwa yang ditemukan di Jawa Barat
Dengan kenyataan ini, masyarakat Sriwijaya diperkirakan sangat majemuk. Mereka juga telah mengenal pembagian (stratifikasi) sosial walaupun tidak begitu tegas. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa istilah dalam Prasasti Kota Kapur yang menunjukkan kedudukan para bangsawan terdiri dari para putera raja dan kerabat istana. Adanya istilah yuwaraja (putra mahkota), pratiyuwaraja (putra raja kedua), dan rajakuman (putra raja ketiga) menunjukkan hal itu. Ditemukan juga istilah-istilah yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan tertentu seperti jabatan nahkoda kapal yang disebut puhavam atau puhawan, bupati, dan senopati. Prasasti Kota Kapur juga menggambarkan adanya kelompok masyarakat yang memiliki profesi tertentu sebagai tenaga kerja, seperti saudagar, tukang cuci, juru tulis, pembuat pisau, dan budak-belian yang dipekerjakan oleh raja.
Sebagai negara maritim, diyakini bahwa perdagangan merupakan bidang andalan Sriwijaya. Hal ini bisa dilihat dari letak geografisnya yang berada di tengah-tengah jalur perdagangan antara India dan Cina. Apalagi setelah Selat Malaka berhasil dikuasai Sriwijaya, banyak kapal asing yang singgah di pelabuhan ini untuk menambah perbekalan (nasi, daging, air minum), beristirahat, dan melakukan perdagangan. Untuk mengontrol aktifitas perdagangan di Selat Malaka, penguasa Sriwijaya membangun sebuah bandar di Ligor (Malaysia). Hal ini diketahui dari Prasasti Ligor yang bertahun 775 M.
Alat batu penggiling (peninggalan budaya megalitikum zaman prasejarah) serpihan emas yang digunakan pada abad ke- 7 pada masa Sriwijaya; terlihat bahwa profesi pendulang emas telah ada pada masa itu

Pengiriman hadiah dari pedagang dan upeti dari raja-raja taklukan kepada raja Sriwijaya merupakan ketentuan hukum. Sriwijaya sebagai tuan rumah sekaligus negara niaga dan maritim, yang sering dikunjungi oleh pedagang asing maka Sriwijaya berhak menentukan jumlah atau harga pajak yang harus dipatuhi oleh para pedagang bersangkutan. Selain perdagangan, rakyat Sriwijaya mengandalkan pertanian. Hal ini bisa kita simpulkan dari tulisan Abu Zaid Hasan, pelaut Persia, yang mendapat keterangan dari seorang pedagang Arab bernama Sulaiman. Abu Zaid Hasan menceritakan bahwa Zabaq (Sriwijaya) memiliki tanah yang subur dan wilayah kekuasaan yang luas hingga ke seberang lautan. Dengan tanah yang subur, Sriwijaya kemungkinan memiliki hasil pertanian yang cukup diminati para pedagang asing. Apalagi wilayah Sriwijaya demikian luas hingga mencapai ke pedalaman Sumatera dan Jawa. Sementara itu, masalah penguasaan tanah pada masa Sriwijaya dapat dilihat dari Prasasti Kedukan Bukit yang membahas taman Sriksetra. Diduga, masalah kepemilikan tanah ini sepenuhnya hak raja. Kehidupan ekonomi dan sosial Kerajaan Melayu tak jauh berbeda dengan Sriwijaya. Kaum bangsawannya memeluk Buddha, masyarakatnya sebagian besar memeluk keyakinan tradisional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar