Kamis, 12 September 2013

Makalah Pkn

BAB I PENDAHULUAN

Negara adalah suatu organisasi yang meliputi wilayah, sejumlah rakyat, dan mempunyai kekuasaan berdaulat. Setiap negara memiliki sistem politik (political system) yaitu pola mekanisme atau pelaksanaan kekuasaan. Sedang kekuasaan adalah hak dan kewenangan serta tanggung jawab untuk mengelola tugas tertentu. Pengelolaan suatu negara inilah yang disebut dengan sistem ketatanegaraan.
Sistem ketatanegaraan dipelajari di dalam ilmu politik. Menurut Miriam Budiardjo (1972), politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari negara itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Untuk itu, di suatu negara  terdapat kebijakan-kebijakan umum (public polocies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi kekuasaan dan sumber-sumber yang ada.
Di Indonesia pengaturan sistem ketatanegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah

Sebelum Amandenen UUD 1945

Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut.  Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

kedudukan dan hubungan antar lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 sebelum diamandemen, yaitu:
Pembukaan UUD 1945

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
            Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah karena di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat tujuan negara dan pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Jika Pembukaan UUD 1945 ini dirubah, maka secara otomatis tujuan dan dasar negara pun ikut berubah.

     MPR

Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR diberi kekuasaan tak terbatas karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR
MA

Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
BPK

Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri.
DPR

Tugas dan wewenang DPR sebelum amandemen UUD 1945 adalah memberikan persetujuan atas RUU [pasal 20 (1)], mengajukan rancangan Undang-Undang [pasal 21 (1)], Memberikan persetujuan atas PERPU [pasal 22 (2)], dan Memberikan persetujuan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [pasal 23 (1)].
            UUD 1945 tidak menyebutkan dengan jelas bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan.
Presiden

ü  Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
ü  Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
ü  Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
ü  Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
Sesudah Amandemen UUD 1945

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

a.      MPR

·                     Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara
            lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
·                     Menghilangkan supremasi kewenangannya.
·                     Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
·                     Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden
·                     Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
·                     Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan
           Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung
           melalui pemilu.

b.      DPR

·         Posisi dan kewenangannya diperkuat.
·         Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
·         Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
·         Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

c.       DPD

·         Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
·         Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
·         Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
·         Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.


d.      BPK

·         Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
·         Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
·         Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
·         Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.

e.       Presiden

·         Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
·         Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
·         Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
·         Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
·         Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
·         Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

f.       Mahkamah Agung

·         Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
·         Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
·         Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
·         Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

g.      Mahkamah Konstitusi

·         Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
·         Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
·         Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif
A.    Latar Belakang
 Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu "amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk masalah hukum. Jadi yang dimaksud dengan Amandemen UUD 45, artinya misalnya pasal-pasalnya dari UUD 45 itu sudah mengalami perubahan yang tertulis atau maknanya. Ada perbedaan antara rancangan UUD yang dibuat oleh pantia BPUPKI dengan naskah UUD 45 yang disetujui dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi dasar UUD 45 yang belum diamandemen adalah UUD 45 yang tercantum dalam ketetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) no.1. No.2 memilih Soekarno Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden. No.3 berbunyi : Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dan memang dalam Aturan Peralihan UUD 45, pasal IV tercantum Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Dengan perkataan lain saat itu Presiden berkuasa tampa batas karena presiden berfungsi sebagai eksekutif sekaligus sebagai pimpinan legislatif. Ini menunjukkan bahwa Indonesia kurang demokratis, padahal Republik Indonesia saat itu harus menunjukkan sifatnya yang didukung rakyat. Makanya konstitusi Negara Indonesia harus diamandemen.
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, rusaknya manajemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian  bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang asli atau UUD 1945 yang belum mengalammi amandemen akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.

Keberadaan UUD 1945 yang  selama ini disakralkan dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan  berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai kontrak sosial baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah  sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang.  Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini  menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
BAB III
PEMBAHASAN
1.    Sejarah ketatanegaraan
Saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof Soepomo pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, hanya membuat UUD 1945 bersifat sementara atau istilah Bung Karno "undang-undang dasar kilat". Mereka semua committed jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.
Dalam periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus 1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan Indonesia menerapkan UUD 1945 yang asli, yang kekuasaan sepenuhnya di tangan Presiden. Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan dari Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950 diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang definitif.
Sebelum tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami jalan buntu dalam menyusun UUD baru, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer dan pendukung Soekarno.
Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam masa pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
kondisi ini dikhawatirkan bangsa Indonesia sedang menghadapi bahaya pengulangan sejarah, adanya sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya Demokrasi Terpimpin. Dulu mereka berhasil menghapus Majelis Konstituante dengan memakai Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto yang menghendaki kembalinya Demokrasi Pancasila yang dengan landasan UUD 1945 yang murni dan konsekuen berhasil berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa "kehilangan" atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik dalam konteks UUD 1945 hasil amandemen.
2. Pandangan Terhadap Amandemen UUD 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang diposisikan tertinggi karena dianggap representasi dari  kedaulatan rakyat adalah badan yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini didasari pula pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk melakukan perubahan  UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan lain yang terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah menetapkan UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta membuat GBHN.
Dalam kurun waktu 1999-2002, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak empat kali yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
• Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
 Pada perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan dan penambahan itu  menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak asasi manusia,  kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.
Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi. Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai upaya untuk  memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga tidak ada kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.
Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi dan pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model pemerintahan yang dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem pemerintahan presidensiil atau parlementer. Indonesia dikategorikan menganut sistem percampuran (quasi) antara keduanya berdasarkan distribusi kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem dengan pencampuran semacam itu nampaknya akan masih menyisakan persoalan-persoalan, jika dikaitkan dengan kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta relasi (check and balances). Perubahan dan penambahan kewenangan kepada DPR itu nampaknya hanya memindah masalah baru dan memperpanjang krisis politik, karena tidak berangkat dari kerangka dasar disertai pemahaman yang jelas. Kesemuanya masih menggantung, apalagi perubahan itu juga tidak dilakukan secara bersamaan, masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan kehakiman yang mandiri) yang belum diubah yang selama ini juga tidak lepas dari dominasi eksekutif.
Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi sistem bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu tidak berangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.
Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.
Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan terhadap para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara kalau itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan. Sesungguhnya kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan ditutupnya ruang publik untuk dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari. Seperti tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu.
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi serta hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif,  juga pemerintahan yang bersifat desentralistik,  hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan soal itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas nasional baru yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini.

Penolakan Terhadap Amandemen UUD 1945
Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional.
Secara umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu :
Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
Kedua, menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir. Namun, adanya kelemahan tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD 1945.
Adapun beberapa alasan penolakan atas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai berikut :
-         Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia  aspek restriktif ini merupakan koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan presiden di masa Presiden Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah yang membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945 juga memiliki aspek integratif yang tercermin dari pembentukan DPD, yang diharapkan dapat membantu penyampaian aspirasi daerah. Amandemen UUD 1945 memiliki pula aspek protektif dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa daerah, dan masyarakat adat. 
-         dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.
-         Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh, penjelasan mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan.
-         amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan :
o       tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka
o       tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer
o       tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi.
tampak amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif terhadap    pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah otonomi khusus.
-         Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.  "Salah satu contoh terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang dirombak menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu hilangnya eksistensi konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara yang tertinggi. Hal ini akan menimbulkan kontroversi.
-         kurangnya kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas pihak yang dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan impeachment pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya, pola pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar