Perlawanan Diponegoro (1825 – 1830)
Perlawanan rakyat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro merupakan
pergolakan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Pemerintah
kolonial Belanda mengalami kesulitan mengatasi perlawanan ini dan menanggung
biaya yang sangat besar. Adapun sebab-sebab terjadinya Perang Diponegoro dapat
dibagi menjadi dua, yaitu sebab umum dan sebab khusus.
a. Sebab-Sebab Umum
1) Wilayah Mataram semakin dipersempit dan terpecah
Karena ulah penjajah, kerajaan Mataram yang besar, di bawah Sultan Agung
Hanyokrokusumo, terpecah belah menjadi kerajaan yang kecil. Melalui
perjanjian Gianti 1755, kerajaan Mataram dipecah menjadi Kasunanan
Surakarta dan Kesultanan Ngayoyakarta. Dengan perjanjian Salatiga 1757
muncullah kekuasaan baru yang disebut Mangkunegaran dan pada tahun
1813 muncul kekuasaan Pakualam. Kenyataan inilah yang dihadapi oleh
Diponegoro.
2) Masuknya adat Barat ke dalam kraton
Pengaruh Belanda di kraton makin bertambah besar. Adat kebiasaan kraton
Yogyakarta seperti menyajikan sirih untuk Sultan bagi pembesar Belanda
yang menghadap Sultan, dihapuskan. Pembesar-pembesar Belanda duduk
sejajar dengan sultan. Yang paling mengkhawatirkan adalah masuknya
minuman keras ke kraton dan beredar di kalangan rakyat.
Perlawanan rakyat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro merupakan
pergolakan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Pemerintah
kolonial Belanda mengalami kesulitan mengatasi perlawanan ini dan menanggung
biaya yang sangat besar. Adapun sebab-sebab terjadinya Perang Diponegoro dapat
dibagi menjadi dua, yaitu sebab umum dan sebab khusus.
a. Sebab-Sebab Umum
1) Wilayah Mataram semakin dipersempit dan terpecah
Karena ulah penjajah, kerajaan Mataram yang besar, di bawah Sultan Agung
Hanyokrokusumo, terpecah belah menjadi kerajaan yang kecil. Melalui
perjanjian Gianti 1755, kerajaan Mataram dipecah menjadi Kasunanan
Surakarta dan Kesultanan Ngayoyakarta. Dengan perjanjian Salatiga 1757
muncullah kekuasaan baru yang disebut Mangkunegaran dan pada tahun
1813 muncul kekuasaan Pakualam. Kenyataan inilah yang dihadapi oleh
Diponegoro.
2) Masuknya adat Barat ke dalam kraton
Pengaruh Belanda di kraton makin bertambah besar. Adat kebiasaan kraton
Yogyakarta seperti menyajikan sirih untuk Sultan bagi pembesar Belanda
yang menghadap Sultan, dihapuskan. Pembesar-pembesar Belanda duduk
sejajar dengan sultan. Yang paling mengkhawatirkan adalah masuknya
minuman keras ke kraton dan beredar di kalangan rakyat.
3) Belanda ikut campur tangan dalam urusan
kraton
Campur tangan yang amat dalam mengenai
penggantian tahta dilaksanakan oleh Belanda.
Demikian pula mengenai pengangkatan birokrasi
kerajaan. Misalnya pengangkatan beberapa
pegawai yang ditugaskan untuk memungut pajak.
4) Hak-hak para bangsawan dan abdi dalem
dikurangi
Telah terjadi kebiasaan bahwa kepada keluarga
raja (sentana dalem), memberikan jaminan hidup
berupa tanah apanase, juga kepada pegawai
kerajaan (abdi dalem) diberikan gaji berupa tanah
lungguh. Pada masa Kompeni maupun masa
kolonial Inggris dan Belanda, banyak tanah-tanah
tersebut diambil oleh pemerintah kolonial. Dengan
demikian para bangsawan (sentana dalem) dan para abdi banyak yang
kehilangan sumber penghasilan. Akibatnya di hati mereka timbul rasa tidak
senang karena hak-haknya dikurangi, termasuk hak-hak raja dan kerajaan.
5) Rakyat menderita akibat dibebani berbagai pajak
Berbagai macam pajak yang dibebankan pada rakyat, antara lain:
- pejongket (pajak pindah rumah);
- kering aji (pajak tanah);
- pengawang-awang (pajak halaman-pekarangan);
- pencumpling (pajak jumlah pintu);
- pajigar (pajak ternak);
- penyongket (pajak pindah nama);
- bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).
b. Sebab Khusus
Sebab yang meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan penguasa
Belanda seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran
Diponegoro dan membongkar makam keramat. Sebagai protes patok-patok (tanda
dari tongkat kayu pendek) untuk pembuatan jalan dicabut dan diganti dengan
tombak-tombak. Residen Smissaert berusaha mengadakan perundingan tetapi,
Pangeran Diponegoro tidak muncul, hanya mengirim wakilnya, Pangeran
Mangkubumi. Asisten Residen Chevallier untuk menangkap kedua pangeran,
kraton
Campur tangan yang amat dalam mengenai
penggantian tahta dilaksanakan oleh Belanda.
Demikian pula mengenai pengangkatan birokrasi
kerajaan. Misalnya pengangkatan beberapa
pegawai yang ditugaskan untuk memungut pajak.
4) Hak-hak para bangsawan dan abdi dalem
dikurangi
Telah terjadi kebiasaan bahwa kepada keluarga
raja (sentana dalem), memberikan jaminan hidup
berupa tanah apanase, juga kepada pegawai
kerajaan (abdi dalem) diberikan gaji berupa tanah
lungguh. Pada masa Kompeni maupun masa
kolonial Inggris dan Belanda, banyak tanah-tanah
tersebut diambil oleh pemerintah kolonial. Dengan
demikian para bangsawan (sentana dalem) dan para abdi banyak yang
kehilangan sumber penghasilan. Akibatnya di hati mereka timbul rasa tidak
senang karena hak-haknya dikurangi, termasuk hak-hak raja dan kerajaan.
5) Rakyat menderita akibat dibebani berbagai pajak
Berbagai macam pajak yang dibebankan pada rakyat, antara lain:
- pejongket (pajak pindah rumah);
- kering aji (pajak tanah);
- pengawang-awang (pajak halaman-pekarangan);
- pencumpling (pajak jumlah pintu);
- pajigar (pajak ternak);
- penyongket (pajak pindah nama);
- bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).
b. Sebab Khusus
Sebab yang meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan penguasa
Belanda seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran
Diponegoro dan membongkar makam keramat. Sebagai protes patok-patok (tanda
dari tongkat kayu pendek) untuk pembuatan jalan dicabut dan diganti dengan
tombak-tombak. Residen Smissaert berusaha mengadakan perundingan tetapi,
Pangeran Diponegoro tidak muncul, hanya mengirim wakilnya, Pangeran
Mangkubumi. Asisten Residen Chevallier untuk menangkap kedua pangeran,
digagalkan oleh barisan rakyat di
Tegalreja. Mereka telah meninggalkan
tempat. Pangeran Diponegoro pindah ke
Selarong tempat ia memimpin perang.
Pangeran Diponegoro minta kepada
Residen agar Patih Danurejo dipecat.
Surat baru mulai ditulis mendadak rumah
Pangeran Diponegoro diserbu oleh
serdadu Belanda di bawah pimpinan
Chevailer. Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo beserta keluarganya. Rumah
Pangeran Diponegoro dibakar habis. Dia
diikuti oleh Pangeran Mangkubumi. Pergilah mereka ke Kalisoka dan dari sanalah
meletus perlawanan Pangeran Diponegoro (20 Juli 1825). Banyak para pangeran dan
rakyat menyusul Pangeran Diponegoro ke Kalisoka untuk ikut melakukan perlawanan
dengan berlandaskan tekad perang suci membela agama Islam (Perang Sabil)
menentang ketidakadilan. Dari Kalisoka pengikut Pangeran Diponegoro tersebut
dibawa ke Goa Selarong, jaraknya 7 pal (13 km) dari Yogyakarta. Pasukan Belanda
yang mengejar Pangeran Diponegoro dapat dibinasakan oleh pasukan Pangeran
Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Yogyakarta menjadi kacau, prajurit
Belanda dan Sultan Hamengku Buwana V menyingkir ke Benteng Vredenburg.
c. Jalannya Perlawanan
Dari Selarong, tentara Diponegoro mengepung kota Yogyakarta sehingga Sultan
Hamengku Buwana V yang masih kanak-kanak diselamatkan ke Benteng Belanda.
Perang berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya dengan siasat perang gerilya
dan mendadak menyergap musuh. Pangeran Diponegoro ternyata seorang panglima
perang yang cakap. Berkali-kali pasukan Belanda terkepung dan dibinasakan. Belanda
mulai cemas. Dipanggillah tentaranya yang berada di Sumatera, Sulawesi, Semarang,
dan Surabaya untuk menghadapi laskar Diponegoro. Namun, usaha itu sia-sia.
Pusat pertahanan Diponegoro dipindahkan ke Plered. Dari sini gerakan
Diponegoro meluas sampai di Banyuwangi, Kedu, Surakarta, Semarang, Demak,
dan Madiun. Kemenangan yang diperoleh Diponegoro membakar semangat rakyat
sehingga banyak yang menggabungkan diri. Bupati daerah dan bangsawan kraton
banyak juga yang memihak kepadanya. Misalnya Bupati Madiun, Bupati Kertosono,
Pangerang Serang, dan Pangeran Suriatmojo dari Banyumas.
Di Plered, Pangeran Diponegoro sempat dinobatkan menjadi sultan dengan
gelar Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama
Khalifatullah Tanah Jawa, berpusat di Plered. Tanggal 9 Juni 1862 Plered diserbu
Belanda. Pertahanan dipimpin oleh Kerta Pengalasan. Dalam perang tersebut,
Pangeran Diponegoro dibantu seorang yang gagah berani, bernama Sentot dengan
gelar Alibasyah Prawirodirjo, putra dari Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirjo.
Tegalreja. Mereka telah meninggalkan
tempat. Pangeran Diponegoro pindah ke
Selarong tempat ia memimpin perang.
Pangeran Diponegoro minta kepada
Residen agar Patih Danurejo dipecat.
Surat baru mulai ditulis mendadak rumah
Pangeran Diponegoro diserbu oleh
serdadu Belanda di bawah pimpinan
Chevailer. Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo beserta keluarganya. Rumah
Pangeran Diponegoro dibakar habis. Dia
diikuti oleh Pangeran Mangkubumi. Pergilah mereka ke Kalisoka dan dari sanalah
meletus perlawanan Pangeran Diponegoro (20 Juli 1825). Banyak para pangeran dan
rakyat menyusul Pangeran Diponegoro ke Kalisoka untuk ikut melakukan perlawanan
dengan berlandaskan tekad perang suci membela agama Islam (Perang Sabil)
menentang ketidakadilan. Dari Kalisoka pengikut Pangeran Diponegoro tersebut
dibawa ke Goa Selarong, jaraknya 7 pal (13 km) dari Yogyakarta. Pasukan Belanda
yang mengejar Pangeran Diponegoro dapat dibinasakan oleh pasukan Pangeran
Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Yogyakarta menjadi kacau, prajurit
Belanda dan Sultan Hamengku Buwana V menyingkir ke Benteng Vredenburg.
c. Jalannya Perlawanan
Dari Selarong, tentara Diponegoro mengepung kota Yogyakarta sehingga Sultan
Hamengku Buwana V yang masih kanak-kanak diselamatkan ke Benteng Belanda.
Perang berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya dengan siasat perang gerilya
dan mendadak menyergap musuh. Pangeran Diponegoro ternyata seorang panglima
perang yang cakap. Berkali-kali pasukan Belanda terkepung dan dibinasakan. Belanda
mulai cemas. Dipanggillah tentaranya yang berada di Sumatera, Sulawesi, Semarang,
dan Surabaya untuk menghadapi laskar Diponegoro. Namun, usaha itu sia-sia.
Pusat pertahanan Diponegoro dipindahkan ke Plered. Dari sini gerakan
Diponegoro meluas sampai di Banyuwangi, Kedu, Surakarta, Semarang, Demak,
dan Madiun. Kemenangan yang diperoleh Diponegoro membakar semangat rakyat
sehingga banyak yang menggabungkan diri. Bupati daerah dan bangsawan kraton
banyak juga yang memihak kepadanya. Misalnya Bupati Madiun, Bupati Kertosono,
Pangerang Serang, dan Pangeran Suriatmojo dari Banyumas.
Di Plered, Pangeran Diponegoro sempat dinobatkan menjadi sultan dengan
gelar Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama
Khalifatullah Tanah Jawa, berpusat di Plered. Tanggal 9 Juni 1862 Plered diserbu
Belanda. Pertahanan dipimpin oleh Kerta Pengalasan. Dalam perang tersebut,
Pangeran Diponegoro dibantu seorang yang gagah berani, bernama Sentot dengan
gelar Alibasyah Prawirodirjo, putra dari Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirjo.
Dari Plered, pertahanan Pangeran Diponegoro dipindahkan
lagi ke Deksa.
Belanda mengalami kesulitan dalam menghadapi pasukan
Diponegoro. Belanda terpaksa mendatangkan pasukan
tambahan dari negeri Belanda. Namun, pasukan tambahan
Belanda tersebut dapat dihancurkan oleh pasukan Diponegoro.
Akibat berbagai kekalahan perang pada periode tahun
1825 – 1826 Belanda pada tahun 1827 mengangkat Jenderal
De Kock menjadi panglima seluruh pasukan Belanda di Jawa.
Belanda menggunakan siasat perang baru yang dikenal
dengan ”Benteng Stelsell”, yaitu setiap daerah yang dikuasai
didirikan benteng untuk mengawasi daerah sekitarnya.
Antara benteng yang satu dan benteng lainnya dihubungkan
oleh pasukan gerak cepat.
Benteng Stelsell atau Sistem Benteng ini mulai dilaksanakan
oleh Jenderal De Kock pada tahun 1827. Tujuannya adalah
untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan
jalan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa bentengbenteng
di daerah-daerah yang telah dikuasainya.
lagi ke Deksa.
Belanda mengalami kesulitan dalam menghadapi pasukan
Diponegoro. Belanda terpaksa mendatangkan pasukan
tambahan dari negeri Belanda. Namun, pasukan tambahan
Belanda tersebut dapat dihancurkan oleh pasukan Diponegoro.
Akibat berbagai kekalahan perang pada periode tahun
1825 – 1826 Belanda pada tahun 1827 mengangkat Jenderal
De Kock menjadi panglima seluruh pasukan Belanda di Jawa.
Belanda menggunakan siasat perang baru yang dikenal
dengan ”Benteng Stelsell”, yaitu setiap daerah yang dikuasai
didirikan benteng untuk mengawasi daerah sekitarnya.
Antara benteng yang satu dan benteng lainnya dihubungkan
oleh pasukan gerak cepat.
Benteng Stelsell atau Sistem Benteng ini mulai dilaksanakan
oleh Jenderal De Kock pada tahun 1827. Tujuannya adalah
untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan
jalan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa bentengbenteng
di daerah-daerah yang telah dikuasainya.
Dengan adanya siasat baru ini perlawanan pasukan Diponegoro makin lemah.
Di samping itu Belanda berusaha menjauhkan Diponegoro dari pengikutnya.
Di samping itu Belanda berusaha menjauhkan Diponegoro dari pengikutnya.
d. Akhir Perlawanan
Penyerahan para pangeran ini secara berturut-turut sangat memukul perasaan
Diponegoro. Dalam menghentikan perlawanan Diponegoro, Belanda menempuh
jalan yang mungkin. Rupanya Belanda memakai prinsip menghalalkan cara untuk
mencapai tujuan dalam menghadapi Diponegoro.
Belanda mengajak Pangeran Diponegoro untuk berunding di Magelang, Belanda
berjanji seandainya perundingan gagal, Pangeran Diponegoro boleh melanjutkan
kembali ke medan perang.
Perundingan ini baru dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 1830, setelah Diponegoro
beristirahat selama 20 hari karena bulan Ramadhan. Ternyata perundingan ini
menemui kegagalan dan dalam perundingan itulah Pangeran Diponegoro ditangkap.
Belanda telah mengkhianati Diponegoro. Belanda telah mengkhianati janjinya. Dari
Magelang Diponegoro dibawa ke Semarang dan Batavia. Akhirnya diasingkan ke
Manado tanggal 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Makasar (sekarang
Ujung Pandang) dan wafat tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun.
Penyerahan para pangeran ini secara berturut-turut sangat memukul perasaan
Diponegoro. Dalam menghentikan perlawanan Diponegoro, Belanda menempuh
jalan yang mungkin. Rupanya Belanda memakai prinsip menghalalkan cara untuk
mencapai tujuan dalam menghadapi Diponegoro.
Belanda mengajak Pangeran Diponegoro untuk berunding di Magelang, Belanda
berjanji seandainya perundingan gagal, Pangeran Diponegoro boleh melanjutkan
kembali ke medan perang.
Perundingan ini baru dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 1830, setelah Diponegoro
beristirahat selama 20 hari karena bulan Ramadhan. Ternyata perundingan ini
menemui kegagalan dan dalam perundingan itulah Pangeran Diponegoro ditangkap.
Belanda telah mengkhianati Diponegoro. Belanda telah mengkhianati janjinya. Dari
Magelang Diponegoro dibawa ke Semarang dan Batavia. Akhirnya diasingkan ke
Manado tanggal 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Makasar (sekarang
Ujung Pandang) dan wafat tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar