BAB I
PENDAHULUAN
Negara adalah suatu organisasi yang
meliputi wilayah, sejumlah rakyat, dan mempunyai kekuasaan berdaulat. Setiap
negara memiliki sistem politik (political system) yaitu pola mekanisme
atau pelaksanaan kekuasaan. Sedang kekuasaan adalah hak dan kewenangan serta
tanggung jawab untuk mengelola tugas tertentu. Pengelolaan suatu negara inilah
yang disebut dengan sistem ketatanegaraan.
Sistem ketatanegaraan dipelajari di
dalam ilmu politik. Menurut Miriam Budiardjo (1972), politik adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan
dari negara itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Untuk itu, di suatu
negara terdapat kebijakan-kebijakan umum (public polocies) yang
menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi kekuasaan dan sumber-sumber
yang ada.
Di Indonesia pengaturan sistem
ketatanegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah
Sebelum Amandenen UUD 1945
Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan
lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, serta hubungan antar
lembaga-lembaga tersebut. Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi,
kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi).
MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5
Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
kedudukan dan hubungan antar lembaga tertinggi dan
lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 sebelum diamandemen, yaitu:
Pembukaan UUD 1945
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah karena di dalam Pembukaan UUD 1945
terdapat tujuan negara dan pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Jika
Pembukaan UUD 1945 ini dirubah, maka secara otomatis tujuan dan dasar negara
pun ikut berubah.
MPR
Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR berdasarkan
UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR diberi kekuasaan tak terbatas karena
“kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR
MA
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung
membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
BPK
Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Menurut UUD 1945, BPK
merupakan lembaga yang bebas dan mandiri.
DPR
Tugas dan wewenang DPR sebelum amandemen UUD 1945
adalah memberikan persetujuan atas RUU [pasal 20 (1)], mengajukan rancangan
Undang-Undang [pasal 21 (1)], Memberikan persetujuan atas PERPU [pasal 22 (2)],
dan Memberikan persetujuan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [pasal
23 (1)].
UUD 1945 tidak menyebutkan dengan jelas bahwa DPR memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran dan pengawasan.
Presiden
ü Presiden memegang posisi sentral dan dominan
sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi
“untergeordnet”.
ü Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan
negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the
president).
ü Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive
power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan
kekuasaan yudikatif (judicative power).
ü Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat
besar.
Sesudah Amandemen UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya
perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD
1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada
kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada
Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan
mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM,
pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta
hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
a.
MPR
·
Lembaga
tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara
lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
·
Menghilangkan
supremasi kewenangannya.
·
Menghilangkan
kewenangannya menetapkan GBHN.
·
Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden
·
Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
·
Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung
melalui pemilu.
b.
DPR
·
Posisi dan
kewenangannya diperkuat.
·
Mempunyai
kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya
memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
·
Proses dan
mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
·
Mempertegas
fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
c.
DPD
·
Lembaga
negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan
utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
·
Keberadaanya
dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
·
Dipilih
secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
·
Mempunyai
kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
d.
BPK
·
Anggota BPK
dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
·
Berwenang
mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD)
serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti
oleh aparat penegak hukum.
·
Berkedudukan
di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
·
Mengintegrasi
peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke
dalam BPK.
e.
Presiden
·
Membatasi
beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem
pemerintahan presidensial.
·
Kekuasaan
legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
·
Membatasi
masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
·
Kewenangan
pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
·
Kewenangan
pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
·
Memperbaiki
syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi
dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian
jabatan presiden dalam masa jabatannya.
f.
Mahkamah
Agung
·
Lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang
menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat
(1)].
·
Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
·
Di bawahnya
terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN).
·
Badan-badan
lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
g.
Mahkamah
Konstitusi
·
Keberadaanya
dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution).
·
Mempunyai
kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden
dan atau wakil presiden menurut UUD.
·
Hakim
Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah
Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan
dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif
A.
Latar
Belakang
Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu
"amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk masalah hukum.
Jadi yang dimaksud dengan Amandemen UUD 45, artinya misalnya pasal-pasalnya
dari UUD 45 itu sudah mengalami perubahan yang tertulis atau maknanya. Ada
perbedaan antara rancangan UUD yang dibuat oleh pantia BPUPKI dengan naskah UUD
45 yang disetujui dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi dasar UUD
45 yang belum diamandemen adalah UUD 45 yang tercantum dalam ketetapan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) no.1. No.2 memilih Soekarno Hatta
menjadi Presiden dan Wakil Presiden. No.3 berbunyi : Pekerjaan Presiden untuk
sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dan memang dalam Aturan
Peralihan UUD 45, pasal IV tercantum Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan
bantuan sebuah Komite Nasional. Dengan perkataan lain saat itu Presiden
berkuasa tampa batas karena presiden berfungsi sebagai eksekutif sekaligus
sebagai pimpinan legislatif. Ini menunjukkan bahwa Indonesia kurang demokratis,
padahal Republik Indonesia saat itu harus menunjukkan sifatnya yang didukung
rakyat. Makanya konstitusi Negara Indonesia harus diamandemen.
Reformasi menuntut dilakukannya
amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi penyebab tragedi nasional
mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis
sosial-politik, rusaknya manajemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya
nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah
dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena
fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang
demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga
terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada
penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung
pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan
kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama
(1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga
siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang asli atau UUD 1945
yang belum mengalammi amandemen akan berperilaku sama dengan penguasa
sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang
selama ini disakralkan dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa
perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan
tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai kontrak sosial baru
antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang
dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini
menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian
menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang
seimbang. Dengan demikian perubahan
konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini
menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu
bangsa.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Sejarah
ketatanegaraan
Saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD
1945 yang dicetuskan Prof Soepomo pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, hanya
membuat UUD 1945 bersifat sementara atau istilah Bung Karno "undang-undang
dasar kilat". Mereka semua committed jika kelak keadaan mengizinkan,
bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk membuat UUD baru yang definit
berasas kedaulatan rakyat.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia yang menggunakan
konstitusi UUD 1945 sebagai landasan struktural telah menghasilkan berbagai
sistem pemerintahan yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak belakang secara
konseptual.
Dalam periode revolusi, hanya di masa kabinet
Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus 1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16
Oktober 1945), berarti hanya dua bulan Indonesia menerapkan UUD 1945 yang asli,
yang kekuasaan sepenuhnya di tangan Presiden. Maklumat Wakil Presiden No X
mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan dari Presidensial ke
Parlementer, meski tetap menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945
dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950 diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi
tetap menganut paham demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan.
Baru tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis
Konstituante untuk membuat UUD baru yang definitif.
Sebelum tugasnya selesai,
Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Bukan
disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami jalan buntu dalam menyusun UUD baru, tetapi karena
ada kepentingan politik dari kalangan militer dan pendukung Soekarno.
Dengan diberlakukannya kembali
UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali pemerintahan otoriter di
bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru
Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam masa pemerintahan transisi,
baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sebelum Pemilu 2004, kita
menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara
karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang kekuasaan negara bisa
melakukan berbagai distorsi dan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem
pemerintahan.
kondisi ini dikhawatirkan bangsa
Indonesia sedang menghadapi bahaya pengulangan
sejarah, adanya sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang
menghendaki kembalinya Demokrasi Terpimpin. Dulu mereka berhasil menghapus Majelis Konstituante dengan memakai
Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto yang menghendaki kembalinya
Demokrasi Pancasila yang dengan landasan UUD 1945 yang murni dan konsekuen
berhasil berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan untuk kembali ke UUD
1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan otoriter dan
totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa
"kehilangan" atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan
politik dalam konteks UUD 1945 hasil amandemen.
2. Pandangan Terhadap Amandemen UUD
1945
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang diposisikan
tertinggi karena dianggap representasi dari kedaulatan rakyat adalah
badan yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini
didasari pula pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk
melakukan perubahan UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah
ketentuan lain yang terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah
menetapkan UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta
membuat GBHN.
Dalam kurun
waktu 1999-2002, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak empat kali yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
• Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
• Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Pada
perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan
soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa jabatan eksekutif
(presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya mengubah tapi
juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan dan penambahan
itu menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak asasi
manusia, kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan
dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.
Diakui bahwa
dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan dimuatnya
soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang
mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi.
Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif
(presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy.
Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai
upaya untuk memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya melakukan
kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari pengalaman
pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden)
dan lemahnya DPR, sehingga tidak ada kontrol sama sekali dari DPR
terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi
eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32
tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.
Dengan
penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi dan
pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah
legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas
sistem pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model
pemerintahan yang dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem
pemerintahan presidensiil atau parlementer. Indonesia dikategorikan menganut
sistem percampuran (quasi) antara keduanya berdasarkan distribusi
kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem dengan pencampuran
semacam itu nampaknya akan masih menyisakan persoalan-persoalan, jika dikaitkan dengan
kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta relasi
(check and balances). Perubahan dan penambahan kewenangan kepada DPR itu
nampaknya hanya memindah masalah baru dan memperpanjang krisis politik, karena
tidak berangkat dari kerangka dasar disertai pemahaman yang jelas. Kesemuanya
masih menggantung, apalagi perubahan itu juga tidak dilakukan secara bersamaan,
masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan kehakiman yang mandiri) yang belum
diubah yang selama ini juga tidak lepas dari dominasi eksekutif.
Satu hal
mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai
lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis,
karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga
legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat
dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang
tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari
masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR terkait dengan
keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi sistem bikameral atau
meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
Disamping
mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan untuk
tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara
Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis
memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu
tidak berangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan
penerimaan publik yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik
yang hendak mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa
untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah
berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.
Dalam soal
negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara kesatuan dan
ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari sentralisasi
dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan
penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada
unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan
kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh
kearah parlementarian.
Terhadap soal
pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional diterima
publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan terhadap para
pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara kalau
itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan. Sesungguhnya
kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara
historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah
mengubahnya dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan
pembukaan itu ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan ditutupnya
ruang publik untuk dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan
rasional, dikhawatirkan akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari. Seperti tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara
kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu.
Dengan demikian
secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 tidak menunjukkan
perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang demokratis kedepan.
Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sebagai
kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi serta hubungan
lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif, juga pemerintahan yang
bersifat desentralistik, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum
memberikan jaminan soal itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum
menjadikan identitas nasional baru yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan
semangat yang berkembang saat ini.
Penolakan Terhadap Amandemen UUD 1945
Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari
perspektif konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan
(staatsidee) yang kita anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau
demokrasi konstitusional.
Secara umum
perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu :
Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau
desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai
melalui serangkaian amandemen itu.
Kedua, menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal
drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi
sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak
pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan
multitafsir. Namun, adanya kelemahan tersebut
tidak berarti kita harus kembali kepada UUD 1945.
Adapun beberapa alasan penolakan
atas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai berikut :
- Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi
ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan
aspek protektif individu dalam hak asasi manusia aspek restriktif ini
merupakan koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan
presiden di masa Presiden Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah
yang membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945
juga memiliki aspek integratif yang tercermin dari pembentukan DPD, yang
diharapkan dapat membantu penyampaian aspirasi daerah. Amandemen UUD 1945
memiliki pula aspek protektif dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J)
tentang HAM, proteksi bahasa daerah, dan masyarakat adat.
- dibuat
Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.
- Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh,
penjelasan mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu,
partisipasi publik rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang
dilakukan.
- amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting
dilihat dari segi kedaulatan :
o tiadanya
kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka
o tidak
dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer
o tidak
tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga
peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi.
tampak
amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif
terhadap pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah
pusat terhadap daerah otonomi khusus.
- Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. "Salah
satu contoh terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang
dirombak menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD, perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu hilangnya
eksistensi konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara yang
tertinggi. Hal ini akan menimbulkan kontroversi.
- kurangnya
kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas pihak yang
dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan impeachment
pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya, pola
pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar