Sabtu, 14 September 2013

Konflik sosial

Menurut Soerjono Soekanto, Pengertian konflik sosial adalah suatu proses social dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan Menurut teori konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhdapa disintegrasi sosial. Teori konflik melihat bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa.
Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umunya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek “social space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar dan distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber daya alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.
Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001).
Dalam setiap kelompok social selalu ada benih-benih pertentangan antara individudan individu, kelompok dan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Dalam teori hubungan masyarakat, Fisher menyebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, serta tidak adanya saling percaya dalam masyarakat yang melahirkan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab konflik dalam masyarakat juga dapat disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Dalam teori kebutuhan manusia, Fisher mengatakan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik), mental dan social yang tidak terpenuhi atau dihargai.
Hoult (1969) sebagaiman di kutip Wiradi (2000) menyebut konflik sebagai situasi proes interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air dan perairan, tanaman, tambang , dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertical, yaitu antar pemerintah , masyarakat dan swasta, antar pemerintah pusat, pemerintah kota dan desa, serta konflik horizontal yaitu konflik antar masyarakat.
Menurut teori konflik, unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis atau sering kali mengalami perubahan. Setiap elemen-elemen yang terdapat pada masyarakat dianggap mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002).
Dahrendrof membedakan golongan yang terlibat konflik atas tiga tipe kelompok, yaitu kelompok semu (Quasi Group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan . kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas, mempunyai struktur, organisasi program, tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini lah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik (Dahrendrof, 1959).
Dari berbagai jenis kelompok kepentingan inilah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual. Konflik yang terjadi menyebabkan perubahan –perubahan dalam masyarakat. segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok tersebut akan melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah perubahan yang radikal, bila konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba (Ritzer, 2002). Secara akademis, konflik tidak harus berarti kekerasan. Konflik juga bisa berupa kompetisi untuk perebutan sumber daya alam yang yang ketersediaanya terbatas (Pratikono, dkk,2004). Konflik muncul ketika individu saling berhadapan dan bertentangan denganm kepentingan, tujuandan nilai yang di pegang oleh masing-masing individu. Demikian juga halnya pada masyarakat Karo, mula konflik terjadi karena adanya perebutan tanah di antara dua pihak yang masih merupakan satu bagian keluarga besar. Mereka berkompetisi memperebutkan tanah warisan dan masing-masing mereka mempertahankan tanah tersebut.
Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik laten, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya. Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konflik antar etnis, suku, golongan, agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatar belakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial.
Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk; pertama, konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. Dan yang ketiga adalah, konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi (Fisher,2001).
Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab suatu konfik itu dapat terjadi. Dalam pandangan sosiologis, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengatakan bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar