Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu
kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa
Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad
ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya
tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di
Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah
bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan
dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan
Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya
dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi
Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George
Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.
Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam
sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana
asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya
sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan
Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”,
sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk
pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan
besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan
tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa
menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa
Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa
Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan
alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta
Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang
kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan
berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang
dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi
Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu
pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga
telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan
Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah
perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan
berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li
chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada
kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian
dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan
oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota
di Kadaram (Kedah sekarang).
Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia
Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh
3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi
pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa
memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap
diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya
diperintah oleh datu setempat.
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I
Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di
bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat
bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan
Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686
ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan
Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga
menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk
menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini
bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di
Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh
dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan
Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.
Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja
Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota
Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali
Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di
abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain
Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan,
pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa
disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian
kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di
sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia
berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang
ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih
memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.
Agama dan Budaya
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik
banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta
dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan
studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad
ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam
mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama
Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah
digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana
dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh
budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad
ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan
bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar
pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan
ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula
merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal
kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh
Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab
yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri
Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan
sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat
Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim
surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan
kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) berisi permintaan agar khalifah
sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur
perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat
Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka
komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading,
emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan
yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari
vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan
naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan
lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Relasi dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia
Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan
secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya.
Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand
Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya,
Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit),
dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala,
pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti
Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja
Sriwijaya telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara
Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang
melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada
masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan
yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar
Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap
telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan
bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i membantu
perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini
disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan
nama Yuan Miau Kwan.
Masa keemasan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan
hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur
perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai
pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut
cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya
telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara,
antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,
dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya
sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang
mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya
sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan
India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan
Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya
yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari
dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006
atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir
Dharmawangsa Teguh.
Penurunan
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di
Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijya,
berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan
daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang
berkuasa waktu itu. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium
Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra
Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk
tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan
adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
Antara tahun 1079 – 1088, kronik Tionghoa mencatat bahwa
San-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina
yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082
mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta
besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang
merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta
menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian
juga mengirimankan utusan berikutnya di tahun 1088. Namun akibat invasi
Rajendra Chola I, hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah,
beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai
kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai
dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis
pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara
terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po
(Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu,
sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang
meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan
Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia
(Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong
(Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang),
Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe,
pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung
Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi),
dan Sin-t’o (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak
lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari
daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan
Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai
kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam
Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari
mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan
Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di
Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu
juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit
juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya
merupakan kawasan Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas
politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung
informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal
bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang
mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai
kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat
beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan
inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan
yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus
(samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan
kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan
dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota),
pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).
Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan
kerajaan pada masa Sriwijaya.
Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi
dan terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali
kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan
kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang
terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan
berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan
Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Bagi
penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya,
seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga
berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian
Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan
sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota
Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960
di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam II
Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di
Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya
TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan
Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian
untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan
Sriwijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar