Pendirian
Berdasarkan kisah
Kidung Pamacangah dan
Babad Arya Tabanan[2] disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang bernama
Arya Damar sebagai
bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan
Gajah Mada Mahapatih
Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan
Adityawarman.
[3] Begitu juga dalam
Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam
Pararaton juga telah menyebut Palembang sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.
Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama
Pa-lin-fong yang terdapat pada buku
Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh
Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar tahun 1513,
Tomé Pires seorang petualang dari
Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada
kesultanan Demak
serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh
Portugis. Kemudin pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh
kesultanan Banten.
Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari
awal adalah Sri Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau sejak tahun 1601
telah ada hubungan dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.
[4]
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya
Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari
Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya
Sultan Trenggana.
Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di
tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara
alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh
dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju
dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah
Sungai Musi.
Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang
bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu
unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di
kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290
Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi
dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan
Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota
berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van
der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu
masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan
Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah.
Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas,
dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak
bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi
dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan
keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton
mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu.
Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi
selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah
Seberang Ulu, Plaju).
[sunting] Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh
Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut
yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data
tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran
keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin
Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan
keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di
sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai
Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan
sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan
Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk
yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk,
tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat
diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah
berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
[sunting] Kuto Tengkuruk
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan
batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur
berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal
Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di
sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal
tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan Kuto
Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang
atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di
sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan
berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai
Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun
Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk.
Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter,
tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah
barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion.
Bastion yang terletak di sudut baratlaut bentuknya berbeda dengan tiga
bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada
benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu
merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan,
dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut
lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi.
Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua,
tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang
1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823,
bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto
Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah
Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud
Badaruddin II.
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan
hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar.
Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka
Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak
abad ke-18.
[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar