Perkembangan Islam di Indonesia
A. Awal Masuknya Islam di Indonesia
Ketika Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti
animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa
Indonesia bahkan dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri
kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai
di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara di Jawa Barat, kerajaan
Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang ke
wilayah-wilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang
dengan membawa prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia
(tidak ada kasta), menghilangkan perbudakan dan yang paling penting juga
adalah masuk kedalam Islam sangat mudah hanya dengan membaca dua
kalimah syahadat dan tidak ada paksaan.
Tentang kapan Islam datang masuk ke Indonesia, menurut kesimpulan
seminar “ masuknya Islam di Indonesia” pada tanggal 17 s.d 20 Maret 1963
di Medan, Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada
abad ke tujuh masehi. Menurut sumber lain menyebutkan bahwa Islam sudah
mulai ekspedisinya ke Nusantara pada masa Khulafaur Rasyidin (masa
pemerintahan Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib), disebarkan langsung dari Madinah.
B. Cara Masuknya Islam di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan.
Islam berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan
persuasif berkat kegigihan para ulama. Karena memang para ulama
berpegang teguh pada prinsip Q.S. al-Baqarah ayat 256 :
Artinya :
Tidak ada paksaan dalam agama (Q.S. al-Baqarah ayat 256)
Adapun cara masuknya Islam di Indonesia melalui beberapa cara antara lain ;
1. Perdagangan
Jalur ini dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin
kontak dagang dengan orang Arab. Apalagi setelah berdirinya kerajaan
Islam seperti kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh,
maka makin ramailah para ulama dan pedagang Arab datang ke Nusantara
(Indonesia). Disamping mencari keuntungan duniawi juga mereka mencari
keuntungan rohani yaitu dengan menyiarkan Islam. Artinya mereka
berdagang sambil menyiarkan agama Islam.
2. Kultural
Artinya penyebaran Islam di Indonesia juga menggunakan media-media
kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali sanga di pulau
jawa. Misalnya Sunan Kali Jaga dengan pengembangan kesenian wayang. Ia
mengembangkan wayang kulit, mengisi wayang yang bertema Hindu dengan
ajaran Islam. Sunan Muria dengan pengembangan gamelannya. Kedua kesenian
tersebut masih digunakan dan digemari masyarakat Indonesia khususnya
jawa sampai sekarang. Sedang Sunan Giri menciptakan banyak sekali mainan
anak-anak, seperti jalungan, jamuran, ilir-ilir dan cublak suweng dan
lain-lain.
3. Pendidikan
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling strategis
dalam pengembangan Islam di Indonesia. Para da’i dan muballig yang
menyebarkan Islam diseluruh pelosok Nusantara adalah keluaran pesantren
tersebut. Datuk Ribandang yang mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo dan
Kalimantan Timur adalah keluaran pesantren Sunan Giri. Santri-santri
Sunan Giri menyebar ke pulau-pulau seperti Bawean, Kangean, Madura,
Haruku, Ternate, hingga ke Nusa Tenggara. Dan sampai sekarang pesantren
terbukti sangat strategis dalam memerankan kendali penyebaran Islam di
seluruh Indonesia.
4. Kekuasaan politik
Artinya penyebaran Islam di Nusantara, tidak terlepas dari dukungan yang
kuat dari para Sultan. Di pulau Jawa, misalnya keSultanan Demak,
merupakan pusat dakwah dan menjadi pelindung perkembangan Islam. Begitu
juga raja-raja lainnya di seluruh Nusantara. Raja Gowa-Tallo di Sulawesi
selatan melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Demak
di Jawa. Dan para Sultan di seluruh Nusantara melakukan komunikasi, bahu
membahu dan tolong menolong dalam melindungi dakwah Islam di Nusantara.
Keadaan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya negara nasional Indonesia
dimasa mendatang.
C. Perkembangan Islam di Beberapa Wilayah Nusantara
1. Di Sumatra
Kesimpulan hasil seminar di Medan tersebut di atas, dijelaskan bahwa
wilayah Nusantara yang mula-mula dimasuki Islam adalah pantai barat
pulau Sumatra dan daerah Pasai yang terletak di Aceh utara yang kemudian
di masing-masing kedua daerah tersebut berdiri kerajaan Islam yang
pertama yaitu kerajaan Islam Perlak dan Samudra Pasai.
Menurut keterangan Prof. Ali Hasmy dalam makalah pada seminar “Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” yang digelar tahun 1978
disebutkan bahwa kerajaan Islam yang pertama adalah kerajaan Perlak.
Namun ahli sejarah lain telah sepakat, Samudra Pasailah kerajaan Islam
yang pertama di Nusantara dengan rajanya yang pertama adalah Sultan
Malik Al-Saleh (memerintah dari tahun 1261 s.d 1297 M). Sultan Malik
Al-Saleh sendiri semula bernama Marah Silu. Setelah mengawini putri raja
Perlak kemudian masuk Islam berkat pertemuannya dengan utusan Syarif
Mekkah yang kemudian memberi gelar Sultan Malik Al-Saleh.
Kerajaan Pasai sempat diserang oleh Majapahit di bawah panglima Gajah
Mada, tetapi bisa dihalau. Ini menunjukkan bahwa kekuatan Pasai cukup
tangguh dikala itu. Baru pada tahun 1521 di taklukkan oleh Portugis dan
mendudukinya selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M Pasai dianeksasi oleh
raja Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya kerajaan Samudra Pasai berada
di bawah pengaruh keSultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh
Darussalam (sekarang dikenal dengan kabupaten Aceh Besar).
Munculnya kerajaan baru di Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam,
hampir bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Malaka karena pendudukan
Portugis. Dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim
kerajaan Aceh terus mengalami kemajuan besar. Saudagar-saudagar muslim
yang semula berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatannya ke Aceh.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Iskandar
Muda Mahkota Alam ( 1607 - 1636).
Kerajaan Aceh ini mempunyai peran penting dalam penyebaran Agama Islam
ke seluruh wilayah Nusantara. Para da’i, baik lokal maupun yang berasal
dari Timur Tengah terus berusaha menyampaikan ajaran Islam ke seluruh
wilayah Nusantara. Hubungan yang telah terjalin antara kerajaan Aceh
dengan Timur Tengah terus semakin berkembang. Tidak saja para ulama dan
pedagang Arab yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia
sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam datang langsung ke
sumbernya di Mekah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh
terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke 16. Bahkan pada
tahun 974 H. atau 1566 M dilaporkan ada 5 kapal dari kerajaan Asyi
(Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah. Ukhuwah yang erat
antara Aceh dan Timur Tengah itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan
Serambi Mekah.
2. Di Jawa
Benih-benih kedatangan Islam ke tanah Jawa sebenarnya sudah dimulai pada
abad pertama Hijriyah atau abad ke 7 M. Hal ini dituturkan oleh Prof.
Dr. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam, bahwa pada tahun 674 M
sampai tahun 675 M. sahabat Nabi, Muawiyah bin Abi Sufyan pernah singgah
di tanah Jawa (Kerajaan Kalingga) menyamar sebagai pedagang. Bisa jadi
Muawiyah saat itu baru penjajagan saja, tapi proses dakwah selanjutnya
dilakukan oleh para da’i yang berasal dari Malaka atau kerajaan Pasai
sendiri. Sebab saat itu lalu lintas atau jalur hubungan antara Malaka
dan Pasai disatu pihak dengan Jawa dipihak lain sudah begitu pesat.
Adapun gerakan dakwah Islam di Pulau Jawa selanjutnya dilakukan oleh para Wali Sanga, yaitu :
a. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau dikenal juga dengan sebutan Syeikh Magribi. Ia dianggap pelopor
penyebaran Islam di Jawa. Beliau juga ahli pertanian, ahli tata negara
dan sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren. Wafat tahun 1419
M.(882 H) dimakamkan di Gapura Wetan Gresik
b. Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
Dilahirkan di Aceh tahun 1401 M. Ayahnya orang Arab dan ibunya orang
Cempa, ia sebagai mufti dalam mengajarkan Islam tak kenal kompromi
dengan budaya lokal. Wejangan terkenalnya Mo Limo yang artinya menolak
mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak dimasa
Majapahit. Beliau wafat di desa Ampel tahun 1481 M.
Jasa-jasa Sunan Ampel :
1) Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Dari pesantren
ini lahir para mubalig kenamaan seperti : Raden Paku (Sunan Giri),
Raden Fatah (Sultan Demak pertama), Raden Makhdum (Sunan Bonang),
Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishak yang pernah diutus untuk
menyiarkan Islam ke daerah Blambangan.
2) Berperan aktif dalam membangun Masjid Agung Demak yang dibangun pada tahun 1479 M.
3) Mempelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Patah sebagai Sultan pertama.
c. Sunan Giri (Raden Aenul Yaqin atau Raden Paku)
Ia putra Syeikh Yakub bin Maulana Ishak. Ia sebagai ahli fiqih dan
menguasai ilmu Falak. Dimasa menjelang keruntuhan Majapahit, ia
dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden Patah naik menjadi Sultan
Demak. Ketika Sunan Ampel wafat, ia menggantikannya sebagai mufti tanah
Jawa.
d. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Putra Sunan Ampel lahir tahun 1465. Sempat menimba ilmu ke Pasai
bersama-sama Raden Paku. Beliaulah yang mendidik Raden Patah. Beliau
wafat tahun 1515 M.
e. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam. Ia
membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri
sempat menentangnya, karena wayang Beber kala itu menggambarkan gambar
manusia utuh yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kalijaga mengkreasi
wayang kulit yang bentuknya jauh dari manusia utuh. Ini adalah sebuah
usaha ijtihad di bidang fiqih yang dilakukannya dalam rangka dakwah
Islam.
f. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Syarifudin (putra Sunan Ampel, adik Sunan Bonang).
Dakwah beliau terutama dalam bidang sosial. Beliau juga mengkader para
da’i yang berdatangan dari berbagai daerah, antara lain dari Ternate dan
Hitu Ambon.
g. Syarif Hidayatullah
Nama lainnya adalah Sunan Gunung Jati yang kerap kali dirancukan dengan
Fatahillah, yang menantunya sendiri. Ia memiliki keSultanan sendiri di
Cirebon yang wilayahnya sampai ke Banten. Ia juga salah satu pembuat
sokoguru masjid Demak selain Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan
Bonang. Keberadaan Syarif Hidayatullah dengan kesultanannya membuktikan
ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan kala itu, yaitu Demak,
Giri dan Cirebon. Hanya saja Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi
Islam sekaligus kontrol politik para wali.
h. Sunan Kudus
Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq. Lahir pada pertengahan abad ke 15 dan
wafat tahun 1550 M. (960 H). Beliau berjasa menyebarkan Islam di daerah
kudus dan sekitarnya. Ia membangun masjid menara Kudus yang sangat
terkenal dan merupakan salah satu warisan budaya Nusantara.
i. Sunan Muria
Nama aslinya Raden Prawoto atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga.
Beliau menyebarkan Islam dengan menggunakan sarana gamelan, wayang serta
kesenian daerah lainnya. Beliau dimakamkan di Gunung Muria, disebelah
utara kota Kudus.
Diparuh awal abad 16 M, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa
tentram dan damai dalam ayoman keSultanan Demak di bawah kepemimpinan
Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan
pedoman dan tujuan sejatinya setelah mengakhiri masa Siwa-Budha serta
animisme. Merekapun memiliki kepastian hidup bukan karena wibawa dan
perbawa sang Sultan, tetapi karena daulah hukum yang pasti yaitu
syari’at Islam
“Salokantara” dan “Jugul Muda” itulah dua kitab undang-undang Demak yang
berlandaskan syari’at Islam. Dihadapan peraturan negeri pengganti
Majapahit itu, semua manusia sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah
di dunia. Sultan-Sultan Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan
para Ulama atau Wali. Para Ulama itu berperan sebagai tim kabinet atau
merangkap sebagai dewan penasehat Sultan.
Dalam versi lain dewan wali sanga dibentuk sekitar 1474 M. oleh Raden
Rahmat (Sunan Ampel), membawahi Raden Hasan, Maftuh Ibrahim, Qasim
(Sunan Drajat) Usman Haji (ayah Sunan Kudus, Raden Ainul Yakin (Sunan
Gresik), Syekh Sutan Maharaja Raden Hamzah, dan Raden Mahmud. Beberapa
tahun kemudian Syekh Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di
dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai muballig keliling.
Disamping wali-wali tersebut, masih banyak Ulama yang dakwahnya satu
kordinasi dengan Sunan Ampel hanya saja, sembilan tokoh Sunan Wali Sanga
yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya yang menonjol
dalam dakwahnya.
3. Di Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan
dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik
dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah
menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company
dagang Portugis pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini
sudah ditemui pemukiman muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu
banyak, namun upaya dakwah terus berlanjut dilakukan oleh para da’i di
Sumatra, Malaka dan Jawa hingga menyentuh raja-raja di kerajaan Gowa dan
Tallo atau yang dikenal dengan negeri Makasar, terletak di semenanjung
barat daya pulau Sulawesi.
Kerajaan Gowa ini mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate
dibawah pimpinan Sultan Babullah yang telah menerima Islam lebih dahulu.
Melalui seorang da’i bernama Datuk Ri Bandang agama Islam masuk ke
kerajaan ini dan pada tanggal 22 September 1605 Karaeng Tonigallo, raja
Gowa yang pertama memeluk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin Al
Awwal (1591-1636 ) dan diikuti oleh perdana menteri atau Wazir
besarnya, Karaeng Matopa.
Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam Gowa Tallo menyampaikan
pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng
dan Bone. Raja Luwu segera menerima pesan Islam diikuti oleh raja Wajo
tanggal 10 Mei 1610 dan raja Bone yang bergelar Sultan Adam menerima
Islam tanggal 23 November 1611 M. Dengan demikian Gowa (Makasar) menjadi
kerajaan yang berpengaruh dan disegani. Pelabuhannya sangat ramai
disinggahi para pedagang dari berbagai daerah dan manca negara. Hal ini
mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi kerajaan Gowa (Makasar).
Puncak kejayaan kerajaan Makasar terjadi pada masa Sultan Hasanuddin
(1653-1669).
4. Di Kalimantan
Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo melalui
tiga jalur. Jalur pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai kerajaan
Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis kian
membuat dakwah semakin menyebar sebab para muballig dan komunitas muslim
kebanyakan mendiamai pesisir barat Kalimantan.
Jalur kedua, Islam datang disebarkan oleh para muballig dari tanah Jawa.
Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini mencapai puncaknya saat kerajaan
Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak Muballig ke negeri ini. Para
da’i tersebut berusaha mencetak kader-kader yang akan melanjutkan misi
dakwah ini. Maka lahirlah ulama besar, salah satunya adalah Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari.
Jalur ketiga para da’i datang dari Sulawesi (Makasar) terutama da’i yang
terkenal saat itu adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan.
a. Kalimantan Selatan
Masuknya Islam di Kalimantan Selatan adalah diawali dengan adanya krisis
kepemimpinan dipenghujung waktu berakhirnya kerajaan Daha Hindu. Saat
itu Raden Samudra yang ditunjuk sebagai putra mahkota oleh kakeknya,
Raja Sukarama minta bantuan kepada kerajaan Demak di Jawa dalam
peperangan melawan pamannya sendiri, Raden Tumenggung Sultan Demak
(Sultan Trenggono) menyetujuinya, asal Raden Samudra kelak bersedia
masuk Islam.
Dalam peperangan itu Raden Samudra mendapat kemenangan. Maka sesuai
dengan janjinya ia masuk Islam beserta kerabat keraton dan penduduk
Banjar. Saat itulah tahun (1526 M) berdiri pertama kali kerajaan Islam
Banjar dengan rajanya Raden Samudra dengan gelar Sultan Suryanullah
atau Suriansyah. Raja-raja Banjar berikutnya adalah Sultan Rahmatullah
(putra Sultan Suryanullah), Sultan Hidayatullah (putra Sultan
Rahmatullah dan Marhum Panambahan atau Sultan Musta’in Billah. Wilayah
yang dikuasainya meliputi daerah Sambas, Batang Lawai, Sukadana, Kota
Waringin, Sampit Medawi, dan Sambangan.
b. Kalimantan Timur
Di Kalimantan Timur inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu Datuk
Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja
Mahkota) tunduk kepada Islam diikuti oleh para pangeran, para menteri,
panglima dan hulubalang. Untuk kegiatan dakwah ini dibangunlah sebuah
masjid.
Tahun 1575 M, raja Mahkota berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah
sampai ke pedalaman Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman,
dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di Langgar dan para penggantinya.
5. Di Maluku.
Kepulauan Maluku terkenal di dunia sebagai penghasil rempah-rempah,
sehingga menjadi daya tarik para pedagang asing, tak terkecuali para
pedagang muslim baik dari Sumatra, Jawa, Malaka atau dari manca negara.
Hal ini menyebabkan cepatnya perkembangan dakwah Islam di kepulauan
ini.
Islam masuk ke Maluku sekitar pertengahan abad ke 15 atau sekitar tahun
1440 dibawa oleh para pedagang muslim dari Pasai, Malaka dan Jawa
(terutama para da’i yang dididik oleh para Wali Sanga di Jawa). Tahun
1460 M, Vongi Tidore, raja Ternate masuk Islam. Namun menurut H.J De
Graaft (sejarawan Belanda) bahwa raja Ternate yang benar-benar muslim
adalah Zaenal Abidin (1486-1500 M). Setelah itu Islam berkembang ke
kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku. Tetapi diantara sekian banyak
kerajaan Islam yang paling menonjol adalah dua kerajaan , yaitu Ternate
dan Tidore.
Raja-raja Maluku yang masuk Islam seperti :
a. Raja Ternate yang bergelar Sultan Mahrum (1465-1486).
b. Setelah beliau wafat digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang
sangat besar jasanya dalam menyiarkan Islam di kepulauan Maluku, Irian
bahkan sampai ke Filipina.
c. Raja Tidore yang kemudian bergelar Sultan Jamaluddin.
d. Raja Jailolo yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin.
e. Pada tahun 1520 Raja Bacan masuk Islam dan bergelar Zaenal Abidin.
Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian
yang disiarkan oleh raja-raja Islam di Maluku, para pedagang dan para
muballig yang juga berasal dari Maluku.
Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah : Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.
D. Peranan Umat Islam dalam Mengusir Penjajah.
Ketika kaum penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa
Indonesia, bahkan saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam,
seperti Samudra Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka
datang, umat Islam Indonesia sudah memiliki identitas bendera dan
warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi oleh bendera Rasulullah
saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw pernah bersabda
:” Allah telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku diberi pula
warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan putih
“. Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Tidak akan bangsa ini mempunyai
bahasa Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan bahasa ini bahasa
pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa jurnalistik.
Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai
tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam
membangkitkan semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir
semua tokoh pergerakan, termasuk yang berlabel nasionalis radikal
sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam. Sebagai bukti
misalnya Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari
Sarekat Islam (SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan
pernah nyantri dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo
yang kelak dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga
sebenarnya bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi
wanita. Ia seorang pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju
Islam yang kaaffah. Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang
beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau
minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang
pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah
seorang Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah
omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad
Lussy atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin perjuangan rakyat
Maluku melawan penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII menurut
fakta sejarah adalah seorang muslim.
Semangat jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika
para penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa
Indonesia yang mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan
cara-cara yang berbeda dengan ketika Islam datang dan diterima oleh
mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh mereka dengan jalan damai
dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang mulia
bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam
sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang
lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar
menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada
kewajiban bagi kami hanyalah penyampai (Islam) yang nyata”. (Q.S. Yasin :
17)
Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah perjuangan umat Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.
1. Penjajah Portugis
Kaum penjajah yang mula-mula datang ke Nusantara ialah Portugis dengan
semboyan Gold (tambang emas), Glory (kemulyaan, keagungan), dan Gospel
(penyebaran agama Nasrani).
Untuk menjalankan misinya itu Portugis berusaha dengan menghalalkan
semua cara. Apalagi saat itu mereka masih menyimpan dendamnya terhadap
bangsa Timur (Islam) setelah usai Perang Salib . Dengan modal restu
sakti dari Paus Alexander VI dalam suatu dokumen bersejarah yang
terkenal dengan nama “Perjanjian Tordesillas” yang berisi, bahwa
kekuasaan di dunia diserahkan kepada dua rumpun bangsa: Spanyol dan
Portugis. Dunia sebelah barat menjadi milik Spanyol dan sebelah timur
termasuk Indonesia menjadi milik Portugis.
Karena itu Portugis sangat bernafsu untuk menguasai negeri Zamrud
Katulistiwa yang penuh dengan rempah-rempah yang menggiurkan. Pertama
mereka menyerang Malaka dan menguasainya (1511 M), kemudian Samudra
Pasai tahun 1521 M. Mulailah mereka mengusik ketenangan berniaga di
perairan nusantra yang saat itu banyak para pedagang muslim dari Arab.
Demikian pula para pedagang dari Demak dan Malaka yang saat itu sudah
terjalin sangat erat. Portugis nampaknya sengaja ingin mematahkan
hubungan Demak dan Malaka, dan sekaligus tujuannya ingin merebut
rempah-rempah yang merupakan komoditi penting saat itu. Banyak
kapal-kapal mereka dirampas oleh Portugis termasuk kapal pedagang muslim
Arab.
Dengan sikapnya yang tak bersahabat dan arogan dari penjajah Portugis,
seluruh kerajaan yang ada di Nusantara kemudian melakukan perlawanan
kepada Portugis meskipun dalam waktu dan tempat yang berlainan. Kerajaan
Aceh misalnya sempat minta bantuan kerajaan Usmani di Turki dan
negara-negara Islam lain di Nusantara, sehingga dapat membangun kekuatan
angkatan perangnya dan dapat menahan serangan Portugis. Demikian pula,
mendengar perlakuan Portugis yang zalim terhadap para pedagang warga
Demak muslim, Sultan Demak dan para wali merasa terpanggil untuk
berjihad. Halus dihadapi dengan halus, keras dilawan dengan keras. Kalau
orang-orang Portugis mengobarkan semangat Perang Salib, maka Sultan
Demak dan para wali mengobarkan semangat jihad Perang Sabil.
Pada tahun 1512 Demak dibawah pimpinan Adipati Yunus memimpin sendiri
armada lautnya menyerang Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka,
tapi kali ini mengalami kegagalan karena persenjataan lawan begitu
tangguh penyerangan kedua kalinya dilakukan tahun 1521 dengan
mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh
balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah terusir, yang sasarannya
sama yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari wilayah Nusantara demi
mengamankan jalur niaga dan dakwah yang memanjang dari Malaka-Demak dan
Maluku. Namun perjuangannya tidak berhasil pula, bahkan ia gugur mati
syahid dalam pertempuran tersebut. Sebab itulah ia mendapat gelar
”Pangeran sabrang lor” artinya pangeran yang menyebrangi lautan di
sebelah utara.
Sepeninggal Adipati Yunus, perlawanan terhadap Portugis diteruskan oleh
Sultan Trenggana (1521-1546) dan juga oleh putranya Sultan Prawoto.
Meskipun pada masa Sultan Prawoto negara dalam keadaan goncang karena
perseteruan dalam negeri tapi kekuatan perang untuk melawan dan
mempertahankan diri dari serangan Portugis masih terus digalang.
Diberitakan, bahwa saat itu Demak masih sanggup membangun kekuatan
militernya terutama angkatan lautnya yang terdiri dari 1000 kapal-kapal
layar yang dipersenjatai. Setiap kapal itu mampu memuat 400 prajurit
masing-masing mempunyai tugas pengamanan wilayah Nusantara dari serangan
Portugis.
Kalau perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis di Malaka
mengalami kegagalan, namun terhadap penjajah Portugis di Sunda Kelapa
(Jakarta) dan Maluku memperoleh hasil yang gemilang. Adalah panglima
Fatahillah (menantu Sultan Syarif Hidayatullah) pada tahun 1526 M.
memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Sunda Kelapa lewat jalur
laut. Mereka berhasil mengepung dan merebutnya dari tangan penjajah
Portugis, kemudian diganti namanya menjadi Fathan Mubina diambil dari
Quran Surat al-Fath ayat satu. Fathan Mubina diterjemahkan menjadi
Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M,
yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di Maluku, Portugis menghasut dan mengadu domba kerajaan Islam Ternate
dan Tidore. Namun kemudian rakyat Ternate sadar, sehingga mereka dibawah
pimpinan Sultan Haerun berbalik melawan Portugis. Nampaknya yang
menjadi persoalan bukan hanya faktor perdagangan atau ekonomi, tapi juga
persoalan penyebaran agama oleh Portugis. Kristenisasi secara
besar-besaran terutama pada tahun 1546 dilakukan oleh seorang utusan
Gereja Katolik Roma Fransiscus Xaverius dengan sangat ekstrimnya
ditengah-tengah penduduk muslim dan di depan mata seorang Sultan Ternate
yang sangat saleh, tentu saja membuat rakyat marah dan bangkit melawan
Portugis. Lebih marah lagi ketika Sultan Haerun dibunuh secara licik
oleh Portugis pada tahun 1570. Rakyat Ternate terus melanjutkan
perjuangannya melawan Portugis dibawah pimpinan Babullah, putra Sultan
Haerun selama empat tahun mereka berperang melawan Portugis, dan
Alhamdulillah berhasil mengusir penjajah Portugis dari Maluku
2. Penjajah Belanda
Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten
dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon
Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta mengganti nama
Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah Portugis, yaitu
untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap
kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama
Katolik maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat
penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih
3,5 abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan
alam sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan
miskin dan terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka
wajarlah jika seluruh umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para
ulama dan santri di berbagai pelosok tanah air, dengan persenjataan
yang sederhana: bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka bertempur
habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan niat yang sama,
yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia
atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952)
mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir
hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan
didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan
sehebat seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai
kemerdekaannya”.
Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam melawan
Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai antara lain
:
Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus
Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran
Diponegoro dari Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun
1825-1830 bersama panglima lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam
Misbah, Kyai Badaruddin, Raden Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon
dalam perang Diponegoro ini sekitar 200 ribu rakyat dan prajurit
Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar 8000 orang
serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari Jawa
Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris (memimpin perlawanan
terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)
Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku
Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh
misalnya : Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik
Ditiro, Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut
Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad
Daud Syah, dan lain-lain.
Di Kalimantan Selatan, rakyat muslim bergerak melawan penjajah kafir
Belanda yang terkenal dengan perang Banjar, dibawah pimpinan Pangeran
Antasari yang didukung dan dilanjutkan oleh para mujahid lainnya
seperti pangeran Hidayat, Sultan Muhammad Seman (Putra pangeran
Antasari), Demang Leman dari Martapura, Temanggung Surapati dari Muara
Teweh, Temanggung Antaludin dari Kandangan, Temanggung Abdul jalil dari
Amuntai, Temanggung Naro dari buruh Bahino, Panglima Batur dari Muara
Bahan, Penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Haji Bayasin, Temanggung Macan
Negara, dan lain-lain. Dalam perang Banjar ini sekitar 3000 serdadu
Belanda tewas.
Di Maluku Umat Islam bergerak juga dibawah pimpinan Sultan Jamaluddin,
Pangeran Neuku dan Said dari kesultanan Ternate dan Tidore.
Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam Indonesia seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sederetan Mujahid-mujahid lain disetiap pelosok tanah air yang belum
diangkat namanya atau dicatat dalam buku sejarah adalah lebih banyak
dari pada yang telah dikenal atau sudah tercatat dalam buku-buku
sejarah. Mereka sengaja tidak mau dikenal, khawatir akan mengurangi
keikhlasannya di hadapan Allah. Sebab mereka telah betul-betul berjihad
dengan tulus demi menegakkan dan membela Islam di tanah air.
3. Penjajahan Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan pada tanggal 10
januari 1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak, Makasar,
Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki tanggal 5
Maret 1942.